final
by amusuk
Tags
indonesian
originalfiction
| Report Content
a/n: this is my entry for Three Words Hall on fb actually, I crosspost it here. Enjoy~
---
Bima, 13 Desember 2057
Siang cerah, aku duduk. Menatap langit. Dan aku bertanya-tanya apabila langit, yang merupakan tontonan nomor wahid seluruh umat dalam ras apa pun, di mana pun dan di suasana apa pun, ini pernah bersedih. Sebab kadang kala terpikir olehku, dia yang menjadi saksi dalam jutaan peristiwa baik itu menyenangkan atau menyedihkan, bagaimanakah rasanya? Tapi itu andai roh langit dapat berkata, yang mana belum waktunya. Walau tak berbicara, aku tahu langit dapat merasa, dengan caranya. Seperti caranya melukiskan biru yang indah dari warna laut yang pekat. Seperti caranya mengelabu setelah makhluk-makhluk berulah mengotori udara dengan asap kelabu. Seperti caranya mendung dengan hujan merintik di kala seseorang tengah berkabung. Seperti caranya dalam banyak hal lainnya. Memantulkan.
Kulirik sesaat rumahku, rumah yang kutinggali semenjak aku masih 6 tahun, yang kini masih terawat walau sudah menua. Rumah yang khas sekali, bagian depan rumah didominasi oleh susunan batu-batu berwarna abu-kehijauan, dikombinasi dengan kayu-kayu tua yang baru-baru ini divernis ulang sebagai pilar-pilar dan ornamen, dalamnya terbuat dari tembok semen biasa. Oleh karena itu, rumah ini butuh perawatan yang intensif dan berkala agar tidak lapuk diterjang angin laut. Apalagi semenjak orang tuaku tiada dan aku masih bekerja di luar kota di Pulau Jawa. Aku meminta orang kepercayaan orang tuaku yang menjaga rumah ini untuk menghubungiku kapan pun bila memerlukan sesuatu untuk perawatan rumah dan bila ingin meminta bayaran lebih awal.
Dulu, dari lantai dua aku biasa memandang ke horizon. Pemandangan yang tidak pernah membuat jemu. Begitu jauh, begitu tenang dari atas sana.
Pantainya berbeda dengan kini, dulu banyak petani yang mempunyai tambak di sekitarnya, namun kini, dinding penghalang ombak telah dipasang, tidak ada tambak sama sekali, airnya pun makin bersih dan jelas menyibak pesona di bawahnya. Pantai ini telah berubah begitu pesat dan itu membuatku tersenyum karena telah menjadi salah seorang yang beruntung bisa mengamati perubahan dan kemajuan tersebut.
Tiba-tiba aku merasa seperti orang yang kurang kerjaan. Di saat begini, di umurku yang ke-50, di saat aku telah memiliki seorang cucu yang baru lahir, mempunyai toko asesori mutiara yang ternama, aku masih sempat-sempatnya terpikir oleh hal semacam ini. Tapi, di siang musim kemarau yang kering ini, aku di sini, di bangku ini, sengaja menenggelamkan diri ke dalamnya. Satu tanya yang memantik cahaya untuk menerangi jalanku menuju memori di awal-awal kehidupanku.
Saat kertas putih masih lamat-lamat terisi warna pastel...
---
Bima, 13 Desember 2013
Kertas gambar warna putih hasil daur ulang di hadapanku kucoreng tidak karuan. Aku tidak peduli sebab akulah yang menggambar dan aku pemegang remote kendali yang bernama krayon ini. Aku ingin menggambarkan perjalananku dari Lombok Barat ke kota ini, Bima. Ayahku mendapat penempatan di sini. Beliau bekerja di PNPM Mandiri sebagai penanggung jawab operasional dan telah bekerja di banyak tempat sebelumnya saat aku masih bayi--kata ibuku. Jadi, kedatangan kami di sini pun secara tidak langsung juga membawa tugas mulia ayah untuk membangun sarana-prasarana di perdesaan yang cukup terabaikan.
Rumah kami dekat dengan laut. Aku bisa mendengar laut di sepanjang hari, suara burung-burung laut yang ke sana-kemari dan desir ombak bergulung yang kemudian pecah di pantai. Pokoknya suara-suara yang tidak bakal didengar di tengah kota. Selain itu juga, baunya. Bau laut ini sepertinya mulai aku sukai. Dan memang tidak butuh waktu lama bagiku untuk benar-benar menyukainya.
Sepulang sekolah besok lusanya, aku dan teman baruku di SD, Nuning, pergi ke pantai dekat rumahku itu. Nuning tidak tinggal di pesisir, rumahnya lebih dekat ke daerah kota, dekat pasar. Jadi tidak heran bila melihat mata Nuning berbinar terang saat aku mengajaknya ke pantai dekat rumahku.
Kami berlari-larian sepuasnya di sepanjang pantai yang sedang surut. Mengumpulkan kerang-kerang. Bermain dengan ombak yang beriak. Berenang sesuka hati di laut yang bening kebiruan. Sayang sekali pukul 2 kami sudah harus berhenti karena di tempat kami bermain air yang tadinya hanya semata kaki, kini sudah jadi sebetis.
"Ooh, ada temannya rupanya!" seru ibuku saat aku dan Nuning tiba di rumah. Aroma sedap tercium. Tepat sekali ibu sudah memasak saat perutku sedang keroncongan.
"Ayo, Nuning. Kita makan siang!" kataku dengan riang sembari meraih potongan rolade di atas piring.
"Eeh, cuci tangan dulu!" Ibu menepis tanganku. Aku meringis. Aku pun langsung ke dapur dan cuci tangan di wastafel. Nuning menyusul setelah menaruh tas di salah satu kursi meja makan.
"Gimana masakan Tante, Ni--ah, Nuning, kan? Gimana?" tanya ibu begitu kami mulai memakan suapan pertama.
"Enak, Tante," kata Nuning dengan senyum lebar. Yah, orang kelaparan tidak akan bilang tidak enak pada hidangan apa pun di depan mata.
"Iih, masakan Ibu itu tidak enak, tahu," selaku pada Nuning yang walhasil membuat ibu melotot ke arahku, "tapi enak sekali!"
Kami bertiga pun tertawa.
---
Bima, 7 Juli 2016
Aku sudah hapal suara ombak laut di sebelah ini. Bahkan aku bisa tahu kapan kapal-kapal nelayan mengangkat jangkar atau berlabuh hanya dengan duduk di kamarku sambil mengerjakan PR. Bahkan dari mana suara perahu itu berasal, entah perahu Pak Tino, Pak Salim, atau Mas Ferdi.
Dan sekarang, ketika aku mendengarkan lautan yang telah menjadi tetanggaku selama tiga tahun kurang ini, aku berdiri dari kursi meja belajarku. Menggeletakkan buku sejarah yang sedang aku baca.
Malam ini ada suara-suara seperti biasa, namun yang satu ini berbeda. Debur lemah yang terlalu pelan untuk ukuran perahu berlabuh ataupun hendak pergi. Aku melongo ke jendela kamarku di lantai dua dan mengedarkan pandanganku di sekujur bibir pantai dan laut dangkal yang masih bisa kulihat di tengah kelam malam. Tidak ada
apa-apa.
Aku melirik ke jam weker di meja belajarku, “Jam sepuluh....” Biasanya mereka bertiga—Pak Tino, Pak Salim dan Mas Ferdi—sudah berangkat sekitar jam sembilan. Dan lagi sekarang malam Sabtu. Maka kukenakan jaket dan celana trainingku dengan segera.
Malam Sabtu biasanya aku suka menyelinap keluar lewat pintu samping yang terhubung langsung ke luar. Jarak pintu samping jauh lebih dekat dengan tangga ke lantai dua daripada pintu depan, jadi aku lewat situ.
Kumasukkan kedua tanganku di kantong jaket tebalku. Walaupun hangat, angin yang sesekali menerpa membuatku menggigil juga dalam jaket ini. Aku berjalan di pantai, agak mendekat ke bibir pantai. Pertemuan antara ombak dan pantai kini terjadi dalam arus yang konstan, sehingga terasa kesunyiannya.
Sampai suara kecipak yang kecil menarik perhatianku. Aku berhenti bergerak, mengamati sekeliling dan tidak menemukannya di mana pun.
Saat mulai berjalan agak jauh lagi, aku mendengar suara itu lagi. Kini semakin keras. Seolah sengaja menggoda. Jadi aku berjalan terus, hingga ke bagian pantai yang dipenuhi batu-batu karang tapi belum tersentuh ombak laut. Di sana aku melihat sesuatu yang berkilau dalam sekejap mata sebelum menghilang lagi ditelan malam.
"Hei! Kau di mana?"
Aku yakin feeling-ku tidak salah. Kutapaki bebatuan mendekati laut. Aku meringkuk. Melongok ke air sampai aku dapat melihat bayangan wajahku sendiri di bawah sinar bulan sabit yang temaram. Tapi tidak ada apa-apa.
Aku baru akan berbalik dan bangkit saat sesuatu muncul ke permukaan. Dia.
"Kau suka sekali bermain-main," komentarku setelah melihatnya muncul. Mengangkat tangannya ke atas bebatuan, dia bersandar di situ.
"Cuma ingin menguji Maya," dia terkikik.
Aku manyun sebentar, sebelum bertanya dengan antusias, "Terus, apa yang kau bawa kali ini, Repta?"
Dengan sedikit usaha, Repta melompat ke bebatuan dan duduk di sana. Sekarang aku bisa melihat tubuhnya yang tidak kalah kurus denganku. Dia mengenakan kaus yang entah terbuat dari apa, tapi terlihat agak kebesaran di badannya. Tangannya berselaput, kulitnya licin baik karena air laut dan juga lendir yang ada di setiap senti kulitnya. Dia punya ekor bersisik. Tidak ada kaki.
Namun yang paling penting dari semua itu, adalah matanya. Matanya samar berwarna coklat gelap di lingkaran luarnya, di tengahnya ada garis-garis berwarna hijau yang menyertainya. Aku belum pernah melihat mata yang seperti itu pada orang-orang di sekitarku ataupun di televisi sejauh ini. Aku kagum sekali dengan dirinya yang sangat jauh berbeda dari kebanyakan orang.
"Lihat! Ini dia," katanya seraya menunjuk barang yang kini tercangklong di lehernya.
"Wuoo, bagusnya!" celetukku. Aku mendekatkan diri hingga bisa mencium aroma laut yang pekat, namun tidak memuakkan. Kuamati benda itu. Rantainya terbuat dari jalinan logam-logam kecil, liontinnya terbuat dari kerang yang bentuknya agak berantakan, tidak seperti kerang yang biasa kulihat, lalu di dalam liontin itu aku bisa melihat mutiara berwarna... aku tak tahu itu warna apa. Di situ aku melihat sebuah... istana? Sebelum sempat melihat lebih detail, Repta menutup liontin itu dan menariknya dari genggamanku. "Kenapa tidak setiap hari saja kaupakai?"
"Itu barang berharga tahu," dengusnya.
"Kalau begitu, boleh jadi milikku?" tanyaku sekonyong-konyong.
"Mungkin seribu tahun lagi," sahutnya. Dia melanjutkan, "Kalau nanti aku sudah besar, kalung ini akan jadi perlambang nama keluargaku. Aku hanya bisa memberikannya pada seseorang kalau--"
Tiba-tiba ada sinar menyorot ke arah tempatku duduk. Repta yang kaget langsung mencebur mulus ke laut dalam hitungan sepersekian detik. Aku masih terus mengikuti jejaknya di air dengan mataku saat lamat-lamat kudengar suara ayahku mendekat.
"Maya? Kamu sedang apa?"
"Jalan-jalan, Yah."
"Jalan-jalan jam segini?"
"Ehee, pusing habis ngerjain PR, Yah." Biasanya aku tidak pernah ketahuan. Alasan itu terucap begitu saja.
"Untung saja kamu nggak ditelan ombak..." Aku tidak dengar dengan jelas suara ayah, tapi aku tahu dia tidak marah. Kami berdua terkadang memang suka jalan-jalan di pantai setelah magrib. Berdua saja. Tapi malam ini, terpaksa aku pulang menelan kecewa.
---
Bima, 14 Juli 2016
Sudah seminggu ini dia tidak menampakkan diri. Langit di ujung horizon pun selalu kelabu. Rasanya aneh meski Nuning nyaris setiap hari menemaniku bermain di siang hari, bahkan sesekali menginap di rumahku dan begitu pun sebaliknya. Seperti ada yang kurang jika aku tidak bertemu dengannya setidaknya sekali dalam beberapa hari.
Biasanya kami akan duduk-duduk di pantai atau bebatuan pantai yang tersembunyi dan pastinya bukan areal tambak. Saling bercerita dengan seru hingga tak terasa aku mengantuk. Aku belum ingin pulang, tapi Repta memaksaku untuk segera pulang sebelum aku tertidur di pantai. Atau terkadang dia membawakan sesuatu dari bawah air untuk ditunjukkan padaku.
Satu hal yang kuingat darinya adalah bahwa benda-benda milik mereka tidak bisa dimiliki manusia. Aku tidak begitu ingat hal lainnya yang ia katakan.
Tanpa sadar, suara ombak telah membawaku tertidur pulas.
---
Bima, 7 Agustus 2016
"Kau ke mana saja selama ini?"
"Yah, itu..."
Kutatap dirinya yang duduk di sebelahku. Rasanya tubuhnya sudah semakin tinggi saja. Dan kurus. Rambutnya yang hitam dan sebahu menempel di lehernya karena basah.
"Itu apa?" desakku.
"Beberapa hari kemarin, kami mendapat serangan racun dari nelayan di salah satu wilayah kekuasaan Ayahanda, jadi aku turut membantu mengevakuasi penghuni di sana untuk bermigrasi sedikit untuk menghindari racun yang menyebar tak terelakkan di air itu. Selain itu, aku tidak tahu akan ada bahaya apa lagi nantinya. Penghuni kerajaan Ayahanda memang masih banyak, tapi siapa yang tahu beberapa hari, bulan, tahun ke depan?" Repta tersenyum sedih saat mengatakannya. Aku tidak suka melihat orang cemberut. Tanpa pikir panjang, aku menarik pergelangan tangan kanannya. Kami berjabat tangan.
"Kalau begitu aku akan membantumu," kataku dengan yakin, walau aku sendiri tak tahu apa yang bisa kuperbuat. Aku, seorang anak 9 tahun yang baru belajar operasi hitung bilangan di sekolah. "Kalau kau butuh bantuan, jangan ragu untuk memanggilku. Aku tidak tahu bisa berbuat apa, tapi setidaknya aku bisa menemanimu."
Repta masih tampak sendu, tapi kemudian sejurus senyum tulus terlukis di bibirnya.
"Terima kasih, Maya. Kau teman manusiaku yang pertama, dan yang terbaik," ucapnya dengan tulus.
---
Bima, 10 Agustus 2016
Aku dan Nuning sedang beristirahat setelah bermain di pantai saat Nuning tiba-tiba bertanya.
"Kau tampak agak murung akhir-akhir ini. Kau kenapa?" Aku bisa mendengar nada suaranya yang khawatir. Membuatku tidak sanggup berbohong padanya yang sudah bertahun-tahun jadi kawanku. Mungkin juga karena sudah terlalu lama aku tutupi dari dirinya sehingga aku tidak tega. Satu orang lagi untuk dikenal Repta, kurasa tidak masalah.
"Mm, kalau aku ceritakan, kau mau berjanji padaku kau tidak akan mengatakannya pada siapa pun?" tanyaku ragu-ragu.
"...Tentu."
Aku bercerita panjang lebar mengenai pertemuanku dengan Repta dari awal hingga kini. Siang yang tadi panas, telah berubah mendingin seiring angin yang meniupkan hawa laut ke kulit dan rambut kami.
"Wow, jadi kau punya teman seperti itu? Kenapa tidak cerita dari dulu?" katanya dengan antusias setelah aku menyelesaikan ceritaku yang tidak dia sela sama sekali itu.
Aku tersenyum malu, tadinya aku takut, tapi sekarang aku lega. Sangat lega. Mungkin memang seharusnya aku membawa Nuning sejak dulu untuk bertemu Repta. Dengan begitu Repta tidak akan kesepian. Lebih-lebih Nuning orangnya ramah sekali.
"Lalu, kapan dia datang? Aku ingin bertemu dan memperkenalkan diriku sendiri padanya."
"Itu aku juga tidak tahu, biasanya dia datang dengan suara ombak yang khas."
Aku menatap ke kaki langit. Matahari tidak jauh berada di atasnya. Entah mengapa aku mendapat firasat bahwa dia akan datang malam ini.
"...Mungkin malam ini dia akan datang," gumamku.
"Kalau begitu aku menginap di rumahmu ya? Tunggu, aku akan telepon Ibu dulu."
Aku tersenyum mendengar semangatnya. Rasanya aku juga jadi bersemangat.
"Tapi aku tidak tahu lho. Bisa saja dia tidak datang."
"Tidak apa. Kemarin kau sudah menginap di rumahku. Jadi sekarang giliranku. Setidaknya kita tidak akan diam-diam saja di rumah masing-masing. Aku terlalu semangat untuk duduk diam sekarang."
"Baiklah. Kuharap dia benar datang."
Karena hari beranjak gelap, kami segera pulang ke rumahku. Dari kejauhan dapat kucium aroma masakan ibu yang mengundang musik keroncong di perutku. Begitu juga Nuning.
Malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Malam itu malam Sabtu, besok pelajaran hanya olahraga dan kesenian sehingga kami dibebaskan oleh orang tuaku. Hehe, mereka orang tua terbaik sedunia.
Kami menunggu di bagian pantai yang tersembunyi, tempat aku biasa bertemu Repta. Harusnya Repta datang di jam-jam seperti ini.
Aku mengeratkan jaketku dan duduk merapat pada Nuning.
"Mana dia?"
"Entahlah."
"Ini sudah lama sekali. Kita bisa mati kedinginan ini," kata Nuning.
"Jangan lebay," sahutku.
Tapi memang sudah lama sekali, sih. Kalau begitu...
"Lima menit."
"Apanya?" tanya Nuning.
"Kalau lima menit lagi dia tidak muncul, kita kembali," ujarku, yang disertai anggukan Nuning.
.
.
3 menit...
Rasanya lama sekali di udara malam. Aku jadi sebal sendiri.
.
.
2 menit...
Aku menutup mata dan merebahkan kepala di pundak Nuning yang memantau angka jam di layar handphone.
Entah kurang berapa detik lagi, aku membuka mata. "Ya sudah, ayo kita p--"
Pyak!
Ah.
Berikutnya, disusul bunyi yang lebih besar, sesosok yang muncul dari air dan melompat ke atas batu. Nuning bersembunyi di balik punggungku, kaget.
"Maya...," suara Repta terdengar lirih. Aku menarik tangan Nuning untuk mendekat berbarengan. Saat kami mendekat, Repta nampak kaget melihat seseorang bersamaku.
"I-ini temanku. Dia baik kok. Tidak akan bilang siapa-siapa," kataku.
Nuning mengulurkan tangan walau agak takut-takut melihat sosok yang begitu asing macam Repta, "Hei, aku Nuning! Temannya Maya. Kau pasti Repta, kan?" katanya cepat. Dia tak yakin Repta menerimanya begitu saja.
Di luar dugaan, Repta menyambut uluran tangan Nuning dan tersenyum, "E-iya." Lalu ia berkata pada mereka berdua, mungkin karena ada sesuatu yang lebih gawat daripada sekedar bertemu orang asing baru bagi Repta.
"Tolong bantu aku. Ada sesuatu dan hanya kalian yang bisa membantu," kata Repta dengan mimik serius.
Aku dan Nuning pun berpandangan.
"Kau mau bantu?" bisikku.
"Kau bagaimana?" balasnya berbisik.
"Aku sudah janji padanya sejak kemarin-kemarin."
"Kalau begitu aku ikut. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian di tempat bahaya berada."
Dadaku terasa hangat mendengar pernyataan sahabatku ini.
"Kami akan membantu," kataku mantap pada Repta. "Tapi bagaimana?"
Repta tampak tersenyum lega, "Itu mudah saja."
Dan benar saja, tak berapa lama kemudian, kami sudah berada di bawah air dengan selubung udara menyelimuti.
Aku dan Nuning sempat terpana tadi, melihat Repta merapalkan sesuatu sebelum kami terselubung dalam udara yang membuat kami bisa berada di dasar laut tanpa tenggelam ataupun kebasahan.
"Keren!" seruku dan Nuning bersamaan.
"Kalian belum tahu seberapa hebat sihir kaum kami," katanya bangga. "Tapi karena kami baik hati dan tidak sombong, kami tidak akan menggunakannya untuk menjahati yang lain."
"Huuuu, sombooong!" koor kami berdua, membuat Repta manyun. Kami pun tertawa.
"Oh ya ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang membuatmu meminta bantuan kami sekarang?" tanya Nuning.
Mimik Repta berubah serius kembali.
"Adikku... adikku tertangkap oleh kawanan penjahat."
"P-Penjahat?"
"Kami menemukan bahwa mereka pelaku kejadian 27 hari yang lalu, yang membuat banyak benih-benih ikan kecil mati. Tadinya kami ingin memberi mereka pelajaran. Tapi... mereka yang tidak sengaja melihat adikku langsung menangkapnya karena menganggapnya layak untuk dijadikan tontonan." Repta menggeram.
Nuning reflek menepuk pundaknya yang licin. "Tenanglah, tenang."
"Dan ayahku kebetulan terkena dampak racun itu, dia masih sakit parah. Kalau aku memberitahunya adikku tertangkap... aku tidak tahu lagi.... Dan lagi, orang-orang hanya akan menurut bila ayah yang memerintah. "
Kami memandangnya iba. Aku pun berkata, "Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kita bergegas menolong adikmu!"
Dan di sinilah kami sekarang, di kapal para penjahat yang berukuran cukup besar untuk anak-anak seperti kami. Kami harus menemukan Panisi tanpa ketahuan dan membawanya ke laut sebelum bisa memberi tahu pihak berwajib. Karena Panisi tidak boleh terlihat orang lain lagi. Bagaimana kami bisa sampai di kapal?
---
Kami bertiga berenang melewati alam bawah laut yang menakjubkan. Suasana malam tapi kami bisa melihat dengan jelas di sini berkat sinar bulan yang hampir purnama di langit. Ada ikan-ikan lepu berenang di atas pasir, siripnya benar-benar menawan. Ada juga ikan-ikan badut yang bersembunyi di balik anemon-anemon laut begitu kami melintas. Ada puluhan hingga ratusan harring melintas, membuat pandangan kami berkilauan sesaat. Dan ada banyak hal lainnya dalam birunya laut ini yang aku belum pernah lihat sebelumnya. Benar-benar menakjubkan.
Kami terus berenang dan berenang hingga kami tidak dapat melihat bagaimana dasar laut karena sangat gelap, seperti jurang. Kata Repta itu namanya palung laut.
Tak terasa, aku melihat perut kapal dari bawah sini. Dan kami berhenti. Aku menatap Repta. Nuning juga sama.
"Ini kapalnya," kata Repta yang suaranya tetap bisa kami dengar berkat selubung udara ini. "Kita harus membawa adikku keluar sebelum kalian bisa melaporkannya pada yang berwenang."
Oh, ya. Kalau polisi sampai melihat makhluk seperti Repta... yah, mungkin mereka akan sama saja jadinya dengan para penjahat ini. Repta pernah bercerita tentang kejadian serupa yang menimpa salah seorang penduduk kerajaan ayahnya.
Kami pun membagi tugas. Aku dan Nuning naik ke kapal untuk mencari adik Repta yang bernama Panisi. Repta akan mengalihkan perhatian kelompok itu sebisa mungkin.
---
Aku dan Nuning bersembunyi di balik tali-temali dan jaring yang tergeletak, mengamati pintu menuju ke kabin. Karena kami kecil jadi mudah untuk bersembunyi. Lalu terdengar suara riuh dan beberapa orang yang ada di dekat kami pun pergi. Mungkin Repta berhasil menarik perhatian mereka. Jadi aku dan Nuning segera berlari ke pintu yang kami lihat dan masuk.
Kami membukai satu per satu pintu dengan perlahan. Tiba di pintu terakhir, kami menahan napas. Berharap ada Panisi di dalam. Namun yang ada bukan Panisi, melainkan sesosok pria berjenggot putih dengan gigi ompong tidur ngorok di atas kursi.
Tiba-tiba kami mendengar derak-derak aneh dari bawah. Nuning melompat mundur saking kagetnya dan bunyinya membuat orang berjenggot itu tersentak bangun.
"Heh, siapa itu?!"
Aku langsung menutup pintu dan menarik Nuning ke tangga menuju ke bawah.
"Gawat, gawat," bisikku panik.
Kami berlari kencang menuruni tangga dan mendapati ruangan yang sangat gelap di bawah. Pencahayaan hanya datang dari jendela bundar tempat sinar rembulan bisa menembus. Kami memanggil-manggil nama adik Repta.
"Panisi?"
"Panisi kau di mana? Panisi?"
"Kh..."
Kami mendengar suara di pojok, dan benar saja, sesosok anak laki-laki yang seperti Repta terikat tak berdaya di sana.
"Panisi?" Kami mendekat dan mendapati mulutnya diikat kain. Nuning segera membukanya sementara aku berkutat melepaskan simpul tali di badannya dengan segenap pengetahuan pramuka yang kupunya.
"Ah...haaah... akhirnya... k-kalian siapa? Dari mana tahu aku Panisi?"
"Itu nanti saja. Yang penting sekarang kita keluar dulu dari tempat ini," kata Nuning.
Aku dan Nuning memapah Panisi supaya lebih cepat bergerak. Tapi seseoran menghalangi jalan kami.
"Mau ke mana kalian dengan tangkapan berharga kami?"
Kami membeku di tempat. Bagaimana ini? Kita terkurung dengan pria berjenggot. Pria itu tertawa-tawa. Membuatku merinding. Aku menoleh ke arah Panisi. Di luar dugaan, matanya yang berwarna turquoise itu menenangkan hatiku. Hanya menatapnya.
Panisi kemudian berkata, "Hei, Pak Tua, apa gunanya kau menangkapku?"
"Cih, mulut besarmu tidak akan sanggup mengecohku, bocah."
"Aku tidak sedang bermulut besar. Kau lihat sendiri, kau bukan ketua di kapal ini, hanya pembersih lantai, pengangkat jangkar, penarik layar. Apa yang bisa didapat kalaupun publik tahu tentangku?"
Untuk beberapa detik kemudian, si jenggot tua itu terdiam. Aku pun mencoba menimpali. "Benar sekali. Tidakkah kaudengar di luar sana orang-orang sedang menangkap buruan yang lebih besar?"
Pria itu berjalan ke depan, mendekati kami, "Kau benar," berhenti, "tapi aku tetap tidak akan membiarkanmu kabur."
Aku pun langsung menginjak kakinya sekeras-kerasnya, lebih keras dari yang pernah kulakukan saat mencuci baju, lebih keras dari saat ingin memecahkan biji pala. Keras sekali.
"Nuning lari! Bawa dia!"
"Eh tapi--"
"Sudah cepat lari dulu sana! Aku menyusul!" bentakanku tampaknya tidak main-main sehingga Nuning langsung berlari sekuat tenaga sembari menarik Panisi dengannya.
"Tunggu kalian, bedebah cilik!" Pria itu berbalik untuk lari, tapi aku menjegalnya, hingga dia terjatuh.
Pokoknya mereka harus sampai ke laut lebih dulu.
"Kau anak kecil nakal!" katanya seraya mengangkat tubuhku dengan satu tangan. Dia mengikatku ke pilar di ruangan itu dengan tali yang bisa ia temukan. Lalu berlari naik menyusul Nuning dan Panisi. Aku berdoa dalam hati semoga mereka benar-benar sampai di laut tanpa tertangkap yang lain.
---
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Tapi saat aku bangun, ada dua orang yang bersamaku di ruang bawah yang kini lebih terang dibanding semalam. Matahari sudah terbit rupanya. Bagaimana dengan Panisi ya? Apa dia sudah sampai di laut atau belum?
"Anak kecil, kau sudah bangun?" Seseorang menggeram.
Dengan mata mengantuk aku mengangkat kepalaku mencari sumber suara.
"Gara-gara kau tangkapan ajaib kita lepas."
Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan menyeletuk, "Kalian yang menangkap ikan dengan racun bulan lalu, ya kan?" tanyaku menuding.
Mereka tampak kaget sebelum berdiri dengan cepat. "Kau memang harus diberi pelajaran ya? Kami akan laporkan pada Bos supaya kami bisa meminta izinnya untuk menceburkanmu ke laut! Kalau saja dia tidak suka anak kecil, pasti sudah dari semalam kami lempar kau ke mulut hiu!"
Aku bergidik membayangkannya. Dimakan hiu... Hiii...
"Di, kau jaga di sini. Aku yang lapor."
"Oke."
Tapi sebelum orang pertama itu sempat memijak tangga. Suara keras terdengar dari luar.
"Angkat tangan! Kami dari Kepolisian!"
Aku terbelalak mendengarnya. Berarti...
Aku mendongak dan melihat wajah kedua orang itu pucat.
"Di, kayaknya lebih baik dimakan hiu daripada ditangkap polisi," kata orang pertama.
"Gila! Kunci saja pintu ke sini!"
Tapi sia-sia saja. Polisi berhasil dengan mudah mendobrak masuk dan meringkus semua orang di kapal
termasuk dua orang yang bersamaku. Polisi melepas ikatanku dan membawaku naik ke kabin. Namun yang tidak kusangka berikutnya adalah... ayahku berjalan masuk.
Aku menatapnya horor. Uuh, aku pasti dimarahi, aku pasti dimarahi. Aku menutup mata melihat ayah kini berdiri
tepat di depanku. Bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi walaupun tidak siap. Tapi yang aku rasakan malah lengan-lengan panjang ayah yang begitu hangat memelukku. Tentram. Aman. Tanpa kusadari, air mataku bergulir. Aku pun terisak dalam pelukan ayah di kapal itu.
---
Bima, 13 Desember 2057
Tanpa kusadari air mataku bergulir mengingat memori itu. Malam itu rupanya Nuning berhasil dan segera pulang memberitahu ayah-ibuku. Ayahku langsung menelepon Polres Bima dan kapal pencari segera dikerahkan hingga kapal yang kunaiki pun ditemukan di pagi hari. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengan Repta maupun Panisi lagi. Hanya pesannya yang disampaikan Nuning, bahwa mereka sangat berterima kasih. Dan sebuah liontin.
Liontin mutiara yang berharga bagi kaum mereka. Liontin yang hingga kini kupakai di leherku. Di situ dapat kulihat laut aquamarine yang tenang dengan istana Repta berdiri kokoh di tengah.
"Kami bisa memberikan kalung perlambang keluarga kami pada orang yang paling berharga untuk kami." Kata-kata Nuning yang didapat dari Repta masih kuingat jelas.
Aku terlalu tenggelam, tidak menyadari ketukan sepatu yang lama-lama semakin mendekat. Selembar sapu tangan terulur di depan mukaku. Aku menoleh.
"Nuning?"
"Ya ampun, sudah tua kok masih cengeng juga," candanya.
Aku tertawa dengan hidungku.
"Sudah lama tidak bertemu, tidak kusangka kau masih ingat dengan... itu," kata Nuning. Menatap liontinku.
"M-hm. Siapa yang bisa lupa?" kataku.
Kami tidak melanjutkan mengobrol. Hanya duduk bersama menatap langit di siang itu hingga suara menantuku terdengar.
"Ma? Mama, aku sama Mas Gilang sudah menentukan nama untuk bayi laki-laki kita, lho." Suara Ratna, menantuku, yang berjalan ke tempatku jelas terdengar.
Aku mengajak Nuning masuk untuk melihat cucu laki-lakiku yang baru berumur lima hari.
"Siapa namanya?"
Ratna tertawa-tawa sembari menggandeng Gilang yang tengah menimang pangeran kecilnya.
"Namanya Repta, Ma," kata Ratna riang.
Aku dan Nuning berpandangan, lalu tertawa. Rambut putih dan wajah keriput tidak mampu menyembunyikan raut kesenangan kami.
^ Back to Top
Comments
Comments are moderated. Keep it cool. Critical is fine, but if you're rude to one another (or to us), we'll delete your stuff. Have fun and thanks for joining the conversation!
You must be logged in to comment.
mastermindriz on says about chapter 1:
awwww, this is sweet. i don't know why but i think it's a sweet story, full of trust and friendship. wish they could reunite with repta at the end but it seems impossible. hehe. i'm glad that i could read indonesian, haha.
Log in to view all comments and replies