entah
by amusuk
Tags
indonesian
originalfiction
| Report Content
Hari ini kumulai seperti biasa. Matahari hangat menyapa kulitku yang dingin sehabis mandi pagi. Sebuah berkah tersendiri bagiku yang tinggal di kota dataran tinggi dingin ini.
Aku berjalan menuju kelasku di universitas negeri yang berjarak sekitar 20 menit jalan kaki dari tempatku tinggal. Selain menyehatkan karena aku telah menggerakkan otot-otot kakiku di udara pagi yang membekukan orang, ada pelajaran menyenangkan yang menantiku di kelas, juga teman-temanku, dan juga... dia.
Mengingat orang itu membuatku hampir tak dapat menahan senyumku ketika aku berjalan melewati pagar kampus. Oh, apa ini yang disebut "rasa suka pada lawan jenis"? Haha, betapa konyol rangkaian kata yang kuucapkan barusan bila kupikir-pikir lagi.
Setibanya di kelas, kusapa teman-teman semeja, kulirikkan mata ke sepenjuru kelas--kebiasaanku tiap berada di kelas--lalu ke meja dosen, lalu ke kelas sebelah, di sudut sana...
Dia belum datang rupanya.
Mungkin bangun kesiangan karena semalam kegiatan mahasiswa fakultas kami yang dimulai sejak sore sepulang kuliah kemarin baru benar-benar berakhir tiga puluh menit lepas tengah malam. Betapa hidup para mahasiswa tahun pertama di kampus ini seperti sungai deras yang dilalui dari arah yang berlawanan. Demi menuju ke hulu, tempat sumber air yang paling jernih berasal, tempat semua hasil belajar dan pengalaman direbus dan disaring menjadi ilmu yang bermanfaat.
Di jam istirahat siang, baru kulihat sosok lampainya berjalan ke kelas sebelah, menenteng tas dengan sebelah tangan di atas bahu. Wajahnya seperti biasa, dingin dan tak berona. Mata sipitnya menatap ke bawah meski mukanya menghadap depan, gestur khas yang hanya dimiliki dirinya.
Beberapa menit kemudian, aku masih berada di tempatku, sibuk memainkan ponselku saat sudut mataku menangkap ujung celana yang familiar.
Angin berembus pelan di punggungku. Dia lewat begitu saja. Entah mengapa rasanya sulit bagiku untuk berteman dekat dengannya. Sebagian karena diriku yang kurang lancar bersosialisasi, sebagian karena dirinya yang enggan mengobrol dengan orang-orang yang tak terlalu dekat dengannya. Aku termasuk di dalamnya.
Terkadang aku mempertanyakan mengapa aku bisa berada dalam posisi yang begini di saat aku dapat bercengkerama santai dengan yang lain. Apakah terlalu banyak kekuranganku di matanya yang setajam elang? Walau kami tak bermusuhan, dia bahkan pernah beberapa kali berbicara santai padaku tetapi berkat adanya orang lain yang tengah berbicara padaku (haha), tetapi rasanya aku begitu jauh. Jauh dibandingkan dengan orang-orang yang dengan mudahnya ia panggil dan beri senyuman. Aku iri.
Ah, walaupun aku telah berkata ini-itu, tetapi aku tak pernah punya keinginan untuk membuat 'status' baru dengannya, tidak pula dengan siapa pun, atau mungkin diriku tengah berbohong? Entahlah. Kekagumanku selalu berakhir di sini, tak akan berkembang lebih jauh dan dalam.
Kalau aku boleh lancang berkata, mungkin aku sedang jatuh cinta. Cinta milikku, dalam kendaliku walau tak sepenuhnya. Ingin kubakar benih ini agar tak tumbuh. Sebab aku tak ingin... Sebut aku pengecut, aku tidak akan peduli.
Cintaku harus berhenti di sini.
Tetapi entahlah.
^ Back to Top
Comments
Comments are moderated. Keep it cool. Critical is fine, but if you're rude to one another (or to us), we'll delete your stuff. Have fun and thanks for joining the conversation!
You must be logged in to comment.
There are no comments yet for this story.
Log in to view all comments and replies